AI dan Keterlibatan Belajar Siswa

Dalam ruang kelas virtual, seorang siswa bernama Andi membuka aplikasi belajar bahasa asing yang dilengkapi AI. Setiap kali ia menyelesaikan latihan, sistem secara otomatis menyesuaikan level kesulitan dan memberikan poin virtual sebagai hadiah. Andi merasa termotivasi untuk terus belajar, tetapi tanpa disadari, ia mulai bergantung pada notifikasi aplikasi untuk mengingatkan jadwal belajarnya. Di sisi lain, Rina, siswi di daerah terpencil, menggunakan platform AI yang mampu mengenali ekspresi wajahnya saat ia kesulitan memahami materi matematika. Sistem itu lantas menyarankan video penjelasan dengan gaya mengajar yang lebih lambat. Namun, Rina kadang merasa frustrasi karena AI tidak bisa memahami konteks budaya lokal yang memengaruhi cara berpikirnya.

Kisah Andi dan Rina menggambarkan dualitas peran kecerdasan buatan (AI) dalam learning engagement—keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang mencakup empat dimensi: perilaku, emosi, kognisi, dan proaktivitas. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana AI membentuk dinamika tersebut melalui contoh konkret dan ilustrasi dunia nyata.


1. Behavioral Engagement: Antara Interaktivitas dan Ketergantungan

Behavioral engagement terwujud ketika siswa aktif berpartisipasi, tekun menyelesaikan tugas, dan konsisten dalam proses belajar. AI mendorong hal ini melalui personalisasi dan gamifikasi. Contohnya, platform Duolingo menggunakan algoritma untuk mengubah pembelajaran bahasa menjadi permainan. Setiap kali pengguna menjawab dengan benar, AI memberikan streak (catatan hari beruntun belajar) dan lingots (mata uang virtual). Fitur ini berhasil meningkatkan partisipasi, seperti yang dialami Andi, yang kini bisa belajar bahasa Spanyol 20 menit setiap hari tanpa merasa terbebani.

Namun, interaktivitas AI juga memiliki sisi gelap. Bayangkan seorang siswa SMA di Jakarta yang menggunakan aplikasi manajemen tugas berbasis AI seperti Todoist. Awalnya, notifikasi otomatis membantunya disiplin. Namun, lama-kelamaan, ia kehilangan kemampuan mengatur waktu secara mandiri. Ketika suatu hari aplikasi mengalami glitch, ia panik karena tidak terbiasa membuat prioritas tanpa bantuan AI. Ini mencerminkan risiko partisipasi semu: keaktifan siswa tercatat oleh sistem, tetapi tidak mencerminkan kedisiplinan yang benar-benar tertanam.


2. Emotional Engagement: Empati Buatan vs. Sentuhan Manusiawi

AI berpotensi menjadi “sahabat virtual” yang memahami emosi siswa. Misalnya, chatbot Woebot, yang dirancang untuk kesehatan mental, menggunakan pemrosesan bahasa alami (NLP) untuk mendeteksi kecemasan pengguna. Saat seorang pelajar seperti Dini merasa stres menghadapi ujian, Woebot merespons dengan kalem: “Ayo kita tarik napas bersama. Bagaimana jika kamu istirahat 10 menit dulu?” Dukungan instan ini membantu Dini merasa tenang.

Di sisi lain, AI bisa mengikis hubungan emosional antar-manusia. Bayangkan sebuah sekolah di Surabaya yang menggunakan robot pengajar, EMYS, untuk mengajar anak TK. Robot itu tersenyum, menari, dan memuji siswa saat mereka menjawab pertanyaan. Awalnya, anak-anak antusias. Namun, guru mulai menyadari bahwa murid-murid lebih sering memandang layar robot daripada saling tertawa dengan teman. Interaksi manusia digantikan oleh validasi mesin—sebuah fenomena yang oleh psikolog pendidikan disebut dehumanisasi tersistem.


3. Cognitive Engagement: Kedalaman Belajar atau Kemalasan Intelektual?

AI mampu memperkaya pemikiran kritis melalui personalisasi konten. Contoh nyata adalah Century Tech, platform yang menganalisis jawaban siswa untuk mengidentifikasi celah pemahaman. Misalnya, ketika seorang siswa bernama Budi salah menjawab soal aljabar, AI tidak hanya menunjukkan jawaban benar, tetapi juga merekomendasikan video tutorial tentang konsep dasar yang ia lewatkan. Hasilnya, Budi bisa memahami akar masalahnya alih-alih sekadar menghafal rumus.

Namun, kemudahan ini bisa menjadi bumerang. Di sebuah sekolah internasional di Bali, guru menggunakan AI seperti ChatGPT untuk memberikan umpan balik instan pada esai sejarah. Awalnya, siswa seperti Lena merasa terbantu karena AI mengoreksi tata bahasa dan logika argumen. Namun, Lena mulai jarang bertanya kepada guru karena menganggap AI “lebih cepat”. Tanpa disadari, ia kehilangan kesempatan berdiskusi mendalam tentang konteks sejarah yang kompleks—sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh algoritma.


4. Agentic Engagement: Proaktivitas atau Ilusi Kontrol?

Agentic engagement mengacu pada kemampuan siswa memengaruhi cara mereka belajar. AI seperti Coursera memberdayakan pengguna untuk memilih topik, jenis evaluasi, bahkan kecepatan belajar. Contohnya, seorang mahasiswa jurusan desain grafis seperti Farhan bisa fokus pada modul animasi 3D sambil mengabaikan materi yang tidak relevan. Ini menciptakan rasa kepemilikan (ownership) atas proses belajar.

Sayangnya, kebebasan ini seringkali semu. Di sebuah kursus online berbasis AI, siswa diberi pilihan untuk “menyesuaikan kurikulum”. Namun, pilihan itu terbatas pada opsi yang telah diprogram developer. Bayangkan seorang ibu rumah tangga ingin belajar kewirausahaan dengan fokus pada bisnis rumahan. AI hanya menawarkan modul umum seperti marketing digital atau manajemen keuangan, tanpa bisa mengakomodasi kebutuhan spesifiknya. Di sini, AI justru membatasi inovasi alih-alih mendorongnya.


Menjembatani Dua Dunia: Kolaborasi AI dan Guru

Potret di atas menunjukkan bahwa AI bukan pengganti guru, melainkan alat pendukung. Di Finlandia, sebuah sekolah eksperimen menggabungkan AI dengan metode pembelajaran berbasis proyek. Guru menggunakan data dari AI untuk mengidentifikasi siswa yang kesulitan, lalu merancang aktivitas kelompok yang mendorong kolaborasi. Misalnya, ketika AI mendeteksi bahwa sekelompok siswa kurang memahami konsep lingkungan, guru mengajak mereka menanam pohon di sekitar sekolah sambil mendiskusikan teori ekosistem. Pendekatan ini memadukan kecepatan AI dengan kedalaman interaksi manusia.


Kesimpulan: Mencari Keseimbangan di Tengah Disrupsi

AI ibarat pisau bedah dalam pendidikan: tajam dan efisien, tetapi berbahaya jika digunakan tanpa keahlian. Untuk memaksimalkan learning engagement, pendidik perlu memastikan AI berfungsi sebagai katalis, bukan pengendali. Siswa seperti Andi perlu diajarkan untuk tidak hanya mengumpulkan poin virtual, tetapi juga refleksi mandiri. Platform bagi Rina harus diintegrasikan dengan konteks lokal agar tidak terjebak dalam bias algoritma. Dengan prinsip keseimbangan ini, AI bukan hanya akan meningkatkan keterlibatan, tetapi juga menjaga esensi pembelajaran sebagai proses manusiawi yang penuh makna.